- Pengertian
Kepemimpinan
dalam Islam disebut “Imamah”, “Imamah” dari kata “Imam” yang artinya “Pemimpin”
atau “Ketua” dalam suatu organisasi atau lembaga. “Imamah” juga disebut
“Khalifah” atau “Penguasa” dan “Pemimpin tertinggi rakyat”. “Imam” juga berarti
“Pedoman”. Al Qur’an karena merupakan
pedoman bagi umat manusia, disebut juga sebagai “Imam”. Rasulallah juga disebut sebagai imam sebab beliau adalah
pemimpin para pimpinan yang sunnahnya diikuti oleh seluruh pemimpin. Kata
“Imam” berarti pemegang kekuasaan atas umat islam. Menurut Syaikh Abu Zahrah,
“Imamah” juga disebut khalifah, sebab orang yang menjadi khalifah adalah
penguasa tertinggi bagi umat Islam yang menggantikan Nabi dan wajib ditaati. Imamah
dan khalifah adalah penerus Rasulullah sepeninggal kewafatannya, dalam urusan
agama dan sosial. Setelah beliau
wafat, fungsi Rasulallah saw : sebagai Nabi tidak dapat digantikan. Sedangkan
sebagai pemimpin masyarakat atau kepala negaradigantikan oleh para khalifah
yang mendapat bimbingan (Al-Khulafaur Rasyidin). Untuk menggantikan fungsi kenabian
(nubuwah) dibentuk lembaga “Imamah” yang bertujuan untuk memelihara agama dan
mengatur dunia.
Menurut
Ali Syari’ati, secara sosiologis
masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan
kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan
masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari’ati
pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia
akan mengalami disorientasi dan alienasi.[1]
Ketika
suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan
realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Ulama
merupakan orang yang dianggap sebagai orang memiliki keistimewaan harus mampu
menguasai ilmu yang berkaiatan dengan kehidupan agama dan dunia tidak dapat
dipisahkan khususnya dunia politik. Ulama berasal dari kata bahasa Arab dan
semula ia berbentuk jamak, yaitu alim artinya adalah orang yang mengetahui atau
orang pandai. Seorang pemimpin revolusi Iran, yaitu Imam Khomaini dalam konteks
pemerintahan ia menggunakan kata Fuqaha untuk mengganti istilah ulama.
Bagi
Khomeini kepemimpinan seorang Fuqaha (ulama) adalah suatu kemestian. Ia
memiliki 2 alasan, yaitu : Pertama,
alasan yang teologis berupa riwayat dari Nabi Muhammad SAW, adalah ”Fuqaha adalah
pemegang amanat Rasul, selama mereka tidak masuk ke duania”, kemudian seseorang
bertanya, ” Ya Rasul, apa maksud dari perkataan mereka tidak masuk ke dunia.
Lalu Rasul menjawab, ” mengikuti penguasa. Jika mereka melakukannya maka
khawatirkanlah (keselamatan) agama kalian dan menjauhlah kalian dari mereka.”[2] Kedua, alasan rasional bahwa tidaklah
adil sekiranya Tuhan membiarkan ummatnya bingung karena ketidakmampuan mereka
menafsirkan maksud Tuhan dalam konteks zamannya. Jabatan ulama bukanlah jabatan
struktur akan tetapi ia merupakan suatu pengakuan dari ummatnya. Ummat dalam
hal ini haruslah juga bersikap kritis terhadap ulamanya untuk menguji kwalitas
dari seorang ulama tersebut.
2.
Pemikiran
tentang “Imamah”
Ahlulsunnah menganggap bahwa
pemimpin atau khalifah sepeninggal Nabi adalah Abu Bakar berdasarkan musyawarah
di sebuah tempat bernama Saqifah. Jadi, belum sempat jenazah Rasulullah
dikuburkan, Kaum Anshar berkumpul di Saqifah untuk mengangkat seorang pemimpin
di antara mereka. Kabar tersebut diketahui oleh Abu Bakar dan Umar. Akhirnya
mereka berdua bersama Abu Ubaidah dan beberapa orang lain mendatangi Saqifah.
Mereka menemukan kaum Anshar sedang berbincang-bincang. Didatangi dalam kondisi
demikian, air muka Saad bin Ubadah berubah dan apa yang ada di tangan mereka
terjatuh. Perasaan malu dan salah tingkah menghantui mereka. Abu Bakar, Umar
dan Abu Ubaidah berhasil menguasai keadaan. Mereka mengenal betul titik-titik
lemah yang dimiliki oleh kaum Anshar, dan dengan itu mereka mampu menguasai
suasana. Akhirnya terjadilah perdebatan di sana yang ternyata menghasilkan
sebuah keputusan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah sepeninggal Nabi.
Sedikit sekali dari kalangan umat
Islam yang paham betul mengenai sejarah pengangkatan Abu Bakar tersebut. Mereka
mengira bahwa musyawarah yang terjadi pada saat itu adalah musyawarah yang
sehat. Padahal jika kita menelisik lebih jauh lagi, apa yang terjadi di Saqifah
tidak lebih dari sebuah pertengkaran orang-orang Arab yang haus akan kekuasaan.
Bahkan fenomena adu jotos dan orang terinjak-injak pun terjadi juga. Pada saat
yang sama keluarga Nabi memisahkan diri dari kelompok yang haus akan kekuasaan
karena mereka sedang sibuk mengurus jenazah suci Rasulullah. Apakah ini yang
dinamakan sebuah musyawarah sedangkan keluarga Nabi tidak berpartisipasi di
dalamnya. Ada sebagian ulama Ahlulsunnah yang berpendapat bahwa sebenarnya
Rasulullah telah memilih Abu Bakar untuk menjadi khalifah sepeninggal beliau
seperti dilaporkan di dalam shahih bukhari. Tetapi menurut penulis, argumen ini
pun sangat lemah. Kalau memang Abu Bakar merasa telah dipilih oleh Rasulullah
untuk menjadi khalifah sepeninggal beliau, lalu mengapa ketika terjadi
perdebatan di Saqifah Abu Bakar tidak berargumen dengan hadits itu? Padahal
jika Abu Bakar berargumen dengan hadits itu, dia akan dapat dengan mudah
melegitimasi kekuasaannya. Tetapi ternyata Abu Bakar berargumen dengan argumen
yang lain. Abu Bakar berargumen bahwa
yang berhak untuk menjadi khalifah Nabi adalah orang-orang yang dekat hubungan
kekerabatannya dengan Nabi dan paling dahulu masuk Islam. Seperti dilaporkan
dalam kitab-kitab sejarah, ketika Abu Bakar berargumen dengan argumen itu, ada
sebagian orang yang berteriak-teriak memanggil nama Ali bin Abi Thalib. Mungkin
mereka merasa bahwa Ali memenuhi kedua persyaratan tadi. Ali adalah orang yang
paling dahulu masuk Islam.[3] Ali
adalah orang yang dekat hubungan kekerabatannya dengan Nabi. Bahkan Nabi telah
mempersaudarakan dirinya dengan Ali di hari persaudaraan[4]
sedangkan Abu Bakar dipersaudarakan oleh Nabi dengan Umar bin Khattab. Dengan peristiwa itu seluruh komponen umat Islam telah
sepakat menunjuk Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khlaifah menggantikan posisi
Rasulallah sebagai pemimpin umat Islam.
- Pendapat Ulama Mengenai Pembaiatan
a.
Jumhur
Dari pernyataan
Umar bin Khatab diatas Jumhur ulama berpendapat sebagai berikut
·
Tidak ada perbedaan pendapat
tentang wajibnya khalifah
·
Khalifah adalah hak kaum Quraisy
·
Jabatan khalifah dinyatakan sah
setelah terjadi pembaiatan
·
Pembaiatan harus merupakan
musyawarah umat Islam
b.
Ali bin Abu Thalib, pada masa
awal pemerintahan Utsman, umat Islam penuh kedamaian dan ketentraman. Akan
tetapi, akibat sistem nepotisme yang dilakukan Utsman timbul kekacaun sampai terbunuhnya
Utsman. Ali berusaha memadamkan kekacauan tetapi sangat sulit. Pada saat
transisi itulah umat Islam mengarah ke Ali, dan membaiat Ali sebagai khalifah
keempat. Akan tetapi, akibat perang Syiffinyang pernah kecurangan yang
dilakukan kelompok Muawiyah dan ketidaktegasan kelompok Ali, muncullah golongan
yang keluar dari kelompok Ali yang kecewa dengan sikap Ali terhadap kelompok
Muawiyah dan golongan yang keluar dari kalangan Ali ini disebut golongan
Khawarij.
c.
Khawarij, menurut kaum Khawarij
imamah harus merupakan hasil pilihan bebas umat Islam. Dan jika imam telah
terpilih, dia tidak boleh mengalah ataupun diserang. Imam menjadi pemimpin umat
islam selama ia berlaku adil, dan barangsiapa meninggalkannya, maka ia wajib
dipecat atau dibunuh.
d.
Zaidiyah adalah pengikut Zaid bin
Husein bin Ali bin Abi Thalib.
4.
Pemimpin
yang Adil
Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang
dapat mengatur dan menuntun negara pada ketentraman dan kebaikan. Parameter
keadilan seorang pemimpin dilihat dari hasil kerja dan tanggung jawabnya
terhadap rakyat. Suatu kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin merupakan suatu
kenikmatan apabila didalam kekuasaan itu terdapat keadilan, kebaikan,
keselarasan dan keserasian hidup. Akan tetai, apabila pemimpin itu orang yang
zalim tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, maka kekuasaan itu menjadi
laknat bagi dirinya dan bangsanya. Seoran pemimpin yang tidak dapat menegakkan
keadilan, kebaikan dan keserasian, maka dia akan menapat celaka pada hari akhir
nanti dan akan menyesal dan mendapat azab yang berat. Rasulullah
SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini
ada.[5] Imam Ali
Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada
tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada
manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan
serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang.[6]
Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia
membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya.
Misalkan tidak ada diskriminasi dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada
yang beragama Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak
ekonomi, karena alasan agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut
melakukan kecurangan maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.
5.
Kepemimpinan
Gender Wanita Menurut Islam
Wanita dan pria, merupakan insan yang saling melengkapi antara
satu dan lainnya bagaikan peralatan benda komplementer (tidak dapat digunakan
tanpa ada yang lain), seperti halnya antara benang dan jarum untuk menjahit
kain, dan karenanya Allah menegaskan bahwa : “mereka kaum wanita, adalah
pakaian bagi kaum pria, dan pria adalah pakaian kaum wanita”. Sunnah rasul
mengatakan : “semua kamu adalah pemimpin, dan semua kamu akan ditanya nanti
atas pimpinannya; raja memimpin rakyat, nanti akan ditanya bagaimana ia
melakukan pimpinan; dan laki-laki memimpin keluarganya, perempuan memimpin
rumah tangga, nanti akan ditanya pula; pembantu juga nanti akan ditanya
bagaimana dia melakuan tugas sebagai pembantu majikannya”. Rasulullah SAW bersabda “tidak akan bahagia
suatu kaum yang dipimpin oleh wanita”. Hadits ini banyak memunculkan banyak
kontroversi, terlebih dikalangan kaum feminis, mestinya hadits ini difahami
dengan pendekatan iman, jika tidak yang muncul adal Su-Uddzon kepada Rasulullah
SAW. Bagi sorang yang beriman hadits ini sangat jelas dan gamblang karena
mereka yakin bahwa Rasulullah SAW tidak mengucapkan segala sesuatu berdasarkan
hawa nafsu melainkan dengan wahyu.Dari hadis tersebut, tidak ada
pelarangan kepemimpinan wanita bahkan pertanggungjawab di bidang tugas
masing-masing (pria dan wanita) memfungsikan kesamaan dalam tanggungjawab di
hadapan Allah. Rasul hanya mengingatkan bahwa penguasaan terhadap kepemimpinan
haruslah mempunyai keahlian (kepandaian) dan penguasaan pada yang tidak
menguasai permasalahan (kepemimpinan) dapat mengakibatakan kerusakan terhadap
yang dipimpinnya. Skill yang mesti dimiliki seorang
pemimpin dalam menjalankan tugasnya lain seorang pemimpin harus memiliki
komunikasi yang verbal, dapat memeneg waktu dengan baik sehingga waktu tidak
ada yang sia-sia, dapat memeneg pengambilan keputusan sehingga keputusan yang
diambil tidak tergesa-tergesa dan keputusan tersebut memang tepat sesuai kebutuhan. Dalam sejarah kekhalifahan Islam dari khalifah yang
empat daulat Islam lainnya, sejarah menuturkan tidak didapati kepemimpinan
wanita selaku khalifah.
6.
Kepemimpinan
yang Adil
Dalam masalah penilaian
terhadap kepemimpinan yang adil dapat diamati melalui beberapa fenomena
aktivitas kepemimpinan seorang pemimpin. Apabila terlaksana beberapa syarat
berikut, kepemimpinannya terukur dalam keadilan, sebagai berikut
a.
Pemimpin itu telah membela dan menghidupkan agama dalam kekuasaannya
(agama Islam dan non-Islam)
b.
Mentanfizkan hukum antara orang-orang yang berselisih atau
mendamaikannya, begitu juga hukum yang bersangkutan dengan Allah semata-mata
(sebagai pengatur keadilan)
c.
Menjaga keamanan umum agar penghidupan segenap umat manusia terjamin
dengan aman tentram (urusan kepolisian)
d.
Bermusyawarah dengan wakil-wakil rakyat dalam tiap-tiap urusan yang tidak
ada pemikirannya dalam Al Qur’an dan Sunnah yang jelas dan tidak pula ada
ijma’, terutama hal-hal yang menyangkut kenegaraan, seperti peperangan
e.
Mengatur perjuangan batas-batas negeri dengan sekuat-kuatnya, sehingga
merupakan kekuatan yang dapat menolak segala kemungkinan dari serangan musuh
yang akan mengganggu keamanan atau ketenteraman dalam negeri
f.
Jihad, melakukan peperangan terhadap musuh apabila telah sampai pada
batas-batas yang diizinkan oleh agama, dalm hal-hal mengatur ketenteraman
g.
Mengatur kemakmuran menurut apa yang diizinkan oleh agama, seperti
menyusun keuangan negara, mengatur perniagaan dan perdagangan dan sebagainya
h.
Menyesuaikan penyerahan pekerjaan dan kekuasaan menurut kecapakan dan
keikhlasan orang yang diserahi, serta diberi keleluasan mengatur dan bertindak
asal tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama
i.
Hendaklah pemimpin itu bekerja sendiri untuk mengamati dan memperhatikan
soal-soal yang diserahkannya keada wakil-wakilnya. Hendaklah bergaul dengan
seluruh lapisan masyarakat, tidak boleh mengasingkan diri dan bersenang-senang
diri
7.
Ketaatan pada
Ulul Amri
Ulul Amri berarti pemimpin
dalam suatu negara. Para ulama tafsir dan fikih membuat definisi Ulul Amri
sebagai berikut
a.
Ulul amri adalah raja dan kepala pemerintahan yang patuh dan taat kepada
Allah dan Rasul-Nya
b.
Ulul amri adalah para raja dan ulama
c.
Ulul amri adalh amir di zaman Rasulallah, setelah Rasul wafat, jabatan
tersebut pindah ke kadi (hakim), komandan militer, dan mereka yang meminta
anggota masyarakat untuk taat atas dasar kebenaran
d.
Ulul amri adalah para mujtahid atau yang dikenal dengan sebutan ahlul wal
ajali yang mewakili otoritas dalam menetapkan hukum
”Hai
orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S An Nisaa: 59)
Dengan demikian orang mukmin dapat mentaati ulul amri,
yang memenuhi syarat sebagai berikut
- Ulul amri tersebut mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Pada ayat tersebut yang dimaksud ulul amri adalah ulul amri “mukmin” dari
golongan kamu, artinya dri orang yang beriman yang mentaati Allah dan
Rasul-Nya
- Perintah dari ulul amri adalah perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya dan bukan untuk kemaksiatan
Apabila ulul amri tersebut memerintahkan kepada yang
dilarang Allah dan Rasul-Nya, seperti kefasikan, kemunkaran dan maksiat, maka
harus ditolak karena orang mukmin tidak dibenarkan mentaati makhluk yang
maksiat kepada Allah. Mengenai firman Allah: “Wa in tanaza ‘tum fi syai ‘in
farudduhu ilaihi war Rasuli”, mujahid dan para ulama salaf berpendapat bahwa
yang dimaksud ialah kembali kepada ketentuan yang ada dalam kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya. Segala hukum yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan Sunnah dan
yang diakuinya maka itulah yang benar.
[1] Haidir Bagir dalam AliSyari’ati, Ummah dan Imamah. Halaman 16-17
[2] Ushul Kafi, Jilid I hal 58 kitab Fadhlu Al-Ilm
[3] Mustadrak Al-Hakim, Juz
3, Hal. 136.
[4] Tarikhul Khulafa,
hal. 114
[5] Andi Anas, konsep wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini. 2006 hal
29
[6] Murthada Muthahhari, tema-tema pokok Nahj Al-Balaghah, 2002 hal
106-107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar