Selasa, 29 Januari 2013

kepemimpinan


  1. Pengertian
Kepemimpinan dalam Islam disebut “Imamah”, “Imamah” dari kata “Imam” yang artinya “Pemimpin” atau “Ketua” dalam suatu organisasi atau lembaga. “Imamah” juga disebut “Khalifah” atau “Penguasa” dan “Pemimpin tertinggi rakyat”. “Imam” juga berarti “Pedoman”.  Al Qur’an karena merupakan pedoman bagi umat manusia, disebut juga sebagai “Imam”. Rasulallah juga disebut sebagai imam sebab beliau adalah pemimpin para pimpinan yang sunnahnya diikuti oleh seluruh pemimpin. Kata “Imam” berarti pemegang kekuasaan atas umat islam. Menurut Syaikh Abu Zahrah, “Imamah” juga disebut khalifah, sebab orang yang menjadi khalifah adalah penguasa tertinggi bagi umat Islam yang menggantikan Nabi dan wajib ditaati. Imamah dan khalifah adalah penerus Rasulullah sepeninggal kewafatannya, dalam urusan agama dan sosial. Setelah beliau wafat, fungsi Rasulallah saw : sebagai Nabi tidak dapat digantikan. Sedangkan sebagai pemimpin masyarakat atau kepala negaradigantikan oleh para khalifah yang mendapat bimbingan (Al-Khulafaur Rasyidin). Untuk menggantikan fungsi kenabian (nubuwah) dibentuk lembaga “Imamah” yang bertujuan untuk memelihara agama dan mengatur dunia.
Menurut Ali Syari’ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari’ati pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi.[1]
Ketika suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Ulama merupakan orang yang dianggap sebagai orang memiliki keistimewaan harus mampu menguasai ilmu yang berkaiatan dengan kehidupan agama dan dunia tidak dapat dipisahkan khususnya dunia politik. Ulama berasal dari kata bahasa Arab dan semula ia berbentuk jamak, yaitu alim artinya adalah orang yang mengetahui atau orang pandai. Seorang pemimpin revolusi Iran, yaitu Imam Khomaini dalam konteks pemerintahan ia menggunakan kata Fuqaha untuk mengganti istilah ulama.
Bagi Khomeini kepemimpinan seorang Fuqaha (ulama) adalah suatu kemestian. Ia memiliki 2 alasan, yaitu : Pertama, alasan yang teologis berupa riwayat dari Nabi Muhammad SAW, adalah ”Fuqaha adalah pemegang amanat Rasul, selama mereka tidak masuk ke duania”, kemudian seseorang bertanya, ” Ya Rasul, apa maksud dari perkataan mereka tidak masuk ke dunia. Lalu Rasul menjawab, ” mengikuti penguasa. Jika mereka melakukannya maka khawatirkanlah (keselamatan) agama kalian dan menjauhlah kalian dari mereka.”[2] Kedua, alasan rasional bahwa tidaklah adil sekiranya Tuhan membiarkan ummatnya bingung karena ketidakmampuan mereka menafsirkan maksud Tuhan dalam konteks zamannya. Jabatan ulama bukanlah jabatan struktur akan tetapi ia merupakan suatu pengakuan dari ummatnya. Ummat dalam hal ini haruslah juga bersikap kritis terhadap ulamanya untuk menguji kwalitas dari seorang ulama tersebut.

2.         Pemikiran tentang “Imamah”

Ahlulsunnah menganggap bahwa pemimpin atau khalifah sepeninggal Nabi adalah Abu Bakar berdasarkan musyawarah di sebuah tempat bernama Saqifah. Jadi, belum sempat jenazah Rasulullah dikuburkan, Kaum Anshar berkumpul di Saqifah untuk mengangkat seorang pemimpin di antara mereka. Kabar tersebut diketahui oleh Abu Bakar dan Umar. Akhirnya mereka berdua bersama Abu Ubaidah dan beberapa orang lain mendatangi Saqifah. Mereka menemukan kaum Anshar sedang berbincang-bincang. Didatangi dalam kondisi demikian, air muka Saad bin Ubadah berubah dan apa yang ada di tangan mereka terjatuh. Perasaan malu dan salah tingkah menghantui mereka. Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah berhasil menguasai keadaan. Mereka mengenal betul titik-titik lemah yang dimiliki oleh kaum Anshar, dan dengan itu mereka mampu menguasai suasana. Akhirnya terjadilah perdebatan di sana yang ternyata menghasilkan sebuah keputusan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah sepeninggal Nabi.
Sedikit sekali dari kalangan umat Islam yang paham betul mengenai sejarah pengangkatan Abu Bakar tersebut. Mereka mengira bahwa musyawarah yang terjadi pada saat itu adalah musyawarah yang sehat. Padahal jika kita menelisik lebih jauh lagi, apa yang terjadi di Saqifah tidak lebih dari sebuah pertengkaran orang-orang Arab yang haus akan kekuasaan. Bahkan fenomena adu jotos dan orang terinjak-injak pun terjadi juga. Pada saat yang sama keluarga Nabi memisahkan diri dari kelompok yang haus akan kekuasaan karena mereka sedang sibuk mengurus jenazah suci Rasulullah. Apakah ini yang dinamakan sebuah musyawarah sedangkan keluarga Nabi tidak berpartisipasi di dalamnya. Ada sebagian ulama Ahlulsunnah yang berpendapat bahwa sebenarnya Rasulullah telah memilih Abu Bakar untuk menjadi khalifah sepeninggal beliau seperti dilaporkan di dalam shahih bukhari. Tetapi menurut penulis, argumen ini pun sangat lemah. Kalau memang Abu Bakar merasa telah dipilih oleh Rasulullah untuk menjadi khalifah sepeninggal beliau, lalu mengapa ketika terjadi perdebatan di Saqifah Abu Bakar tidak berargumen dengan hadits itu? Padahal jika Abu Bakar berargumen dengan hadits itu, dia akan dapat dengan mudah melegitimasi kekuasaannya. Tetapi ternyata Abu Bakar berargumen dengan argumen yang lain. Abu Bakar  berargumen bahwa yang berhak untuk menjadi khalifah Nabi adalah orang-orang yang dekat hubungan kekerabatannya dengan Nabi dan paling dahulu masuk Islam. Seperti dilaporkan dalam kitab-kitab sejarah, ketika Abu Bakar berargumen dengan argumen itu, ada sebagian orang yang berteriak-teriak memanggil nama Ali bin Abi Thalib. Mungkin mereka merasa bahwa Ali memenuhi kedua persyaratan tadi. Ali adalah orang yang paling dahulu masuk Islam.[3] Ali adalah orang yang dekat hubungan kekerabatannya dengan Nabi. Bahkan Nabi telah mempersaudarakan dirinya dengan Ali di hari persaudaraan[4] sedangkan Abu Bakar dipersaudarakan oleh Nabi dengan Umar bin Khattab. Dengan peristiwa itu seluruh komponen umat Islam telah sepakat menunjuk Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khlaifah menggantikan posisi Rasulallah sebagai pemimpin umat Islam.

  1. Pendapat Ulama Mengenai Pembaiatan
a.         Jumhur
Dari pernyataan Umar bin Khatab diatas Jumhur ulama berpendapat sebagai berikut
·         Tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya khalifah
·         Khalifah adalah hak kaum Quraisy
·         Jabatan khalifah dinyatakan sah setelah terjadi pembaiatan
·         Pembaiatan harus merupakan musyawarah umat Islam
b.         Ali bin Abu Thalib, pada masa awal pemerintahan Utsman, umat Islam penuh kedamaian dan ketentraman. Akan tetapi, akibat sistem nepotisme yang dilakukan Utsman timbul kekacaun sampai terbunuhnya Utsman. Ali berusaha memadamkan kekacauan tetapi sangat sulit. Pada saat transisi itulah umat Islam mengarah ke Ali, dan membaiat Ali sebagai khalifah keempat. Akan tetapi, akibat perang Syiffinyang pernah kecurangan yang dilakukan kelompok Muawiyah dan ketidaktegasan kelompok Ali, muncullah golongan yang keluar dari kelompok Ali yang kecewa dengan sikap Ali terhadap kelompok Muawiyah dan golongan yang keluar dari kalangan Ali ini disebut golongan Khawarij.
c.         Khawarij, menurut kaum Khawarij imamah harus merupakan hasil pilihan bebas umat Islam. Dan jika imam telah terpilih, dia tidak boleh mengalah ataupun diserang. Imam menjadi pemimpin umat islam selama ia berlaku adil, dan barangsiapa meninggalkannya, maka ia wajib dipecat atau dibunuh.
d.         Zaidiyah adalah pengikut Zaid bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.

4.        Pemimpin yang Adil

     Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang dapat mengatur dan menuntun negara pada ketentraman dan kebaikan. Parameter keadilan seorang pemimpin dilihat dari hasil kerja dan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Suatu kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin merupakan suatu kenikmatan apabila didalam kekuasaan itu terdapat keadilan, kebaikan, keselarasan dan keserasian hidup. Akan tetai, apabila pemimpin itu orang yang zalim tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, maka kekuasaan itu menjadi laknat bagi dirinya dan bangsanya. Seoran pemimpin yang tidak dapat menegakkan keadilan, kebaikan dan keserasian, maka dia akan menapat celaka pada hari akhir nanti dan akan menyesal dan mendapat azab yang berat. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.[5] Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang.[6] Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada diskriminasi dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena alasan agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut melakukan kecurangan maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.

5.        Kepemimpinan Gender Wanita Menurut Islam

     Wanita dan pria, merupakan insan yang saling melengkapi antara satu dan lainnya bagaikan peralatan benda komplementer (tidak dapat digunakan tanpa ada yang lain), seperti halnya antara benang dan jarum untuk menjahit kain, dan karenanya Allah menegaskan bahwa : “mereka kaum wanita, adalah pakaian bagi kaum pria, dan pria adalah pakaian kaum wanita”. Sunnah rasul mengatakan : “semua kamu adalah pemimpin, dan semua kamu akan ditanya nanti atas pimpinannya; raja memimpin rakyat, nanti akan ditanya bagaimana ia melakukan pimpinan; dan laki-laki memimpin keluarganya, perempuan memimpin rumah tangga, nanti akan ditanya pula; pembantu juga nanti akan ditanya bagaimana dia melakuan tugas sebagai pembantu majikannya”. Rasulullah SAW bersabda “tidak akan bahagia suatu kaum yang dipimpin oleh wanita”. Hadits ini banyak memunculkan banyak kontroversi, terlebih dikalangan kaum feminis, mestinya hadits ini difahami dengan pendekatan iman, jika tidak yang muncul adal Su-Uddzon kepada Rasulullah SAW. Bagi sorang yang beriman hadits ini sangat jelas dan gamblang karena mereka yakin bahwa Rasulullah SAW tidak mengucapkan segala sesuatu berdasarkan hawa nafsu melainkan dengan wahyu.Dari hadis tersebut, tidak ada pelarangan kepemimpinan wanita bahkan pertanggungjawab di bidang tugas masing-masing (pria dan wanita) memfungsikan kesamaan dalam tanggungjawab di hadapan Allah. Rasul hanya mengingatkan bahwa penguasaan terhadap kepemimpinan haruslah mempunyai keahlian (kepandaian) dan penguasaan pada yang tidak menguasai permasalahan (kepemimpinan) dapat mengakibatakan kerusakan terhadap yang dipimpinnya. Skill yang mesti dimiliki seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya lain seorang pemimpin harus memiliki komunikasi yang verbal, dapat memeneg waktu dengan baik sehingga waktu tidak ada yang sia-sia, dapat memeneg pengambilan keputusan sehingga keputusan yang diambil tidak tergesa-tergesa dan keputusan tersebut memang tepat sesuai kebutuhan. Dalam sejarah kekhalifahan Islam dari khalifah yang empat daulat Islam lainnya, sejarah menuturkan tidak didapati kepemimpinan wanita selaku khalifah.

6.        Kepemimpinan yang Adil

Dalam masalah penilaian terhadap kepemimpinan yang adil dapat diamati melalui beberapa fenomena aktivitas kepemimpinan seorang pemimpin. Apabila terlaksana beberapa syarat berikut, kepemimpinannya terukur dalam keadilan, sebagai berikut
a.         Pemimpin itu telah membela dan menghidupkan agama dalam kekuasaannya (agama Islam dan non-Islam)
b.         Mentanfizkan hukum antara orang-orang yang berselisih atau mendamaikannya, begitu juga hukum yang bersangkutan dengan Allah semata-mata (sebagai pengatur keadilan)
c.         Menjaga keamanan umum agar penghidupan segenap umat manusia terjamin dengan aman tentram (urusan kepolisian)
d.         Bermusyawarah dengan wakil-wakil rakyat dalam tiap-tiap urusan yang tidak ada pemikirannya dalam Al Qur’an dan Sunnah yang jelas dan tidak pula ada ijma’, terutama hal-hal yang menyangkut kenegaraan, seperti peperangan
e.         Mengatur perjuangan batas-batas negeri dengan sekuat-kuatnya, sehingga merupakan kekuatan yang dapat menolak segala kemungkinan dari serangan musuh yang akan mengganggu keamanan atau ketenteraman dalam negeri
f.          Jihad, melakukan peperangan terhadap musuh apabila telah sampai pada batas-batas yang diizinkan oleh agama, dalm hal-hal mengatur ketenteraman
g.         Mengatur kemakmuran menurut apa yang diizinkan oleh agama, seperti menyusun keuangan negara, mengatur perniagaan dan perdagangan dan sebagainya
h.         Menyesuaikan penyerahan pekerjaan dan kekuasaan menurut kecapakan dan keikhlasan orang yang diserahi, serta diberi keleluasan mengatur dan bertindak asal tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama
i.          Hendaklah pemimpin itu bekerja sendiri untuk mengamati dan memperhatikan soal-soal yang diserahkannya keada wakil-wakilnya. Hendaklah bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat, tidak boleh mengasingkan diri dan bersenang-senang diri

7.        Ketaatan pada Ulul Amri
Ulul Amri berarti pemimpin dalam suatu negara. Para ulama tafsir dan fikih membuat definisi Ulul Amri sebagai berikut
a.         Ulul amri adalah raja dan kepala pemerintahan yang patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya
b.         Ulul amri adalah para raja dan ulama
c.         Ulul amri adalh amir di zaman Rasulallah, setelah Rasul wafat, jabatan tersebut pindah ke kadi (hakim), komandan militer, dan mereka yang meminta anggota masyarakat untuk taat atas dasar kebenaran
d.         Ulul amri adalah para mujtahid atau yang dikenal dengan sebutan ahlul wal ajali yang mewakili otoritas dalam menetapkan hukum
 

Allah S.W.T berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S An Nisaa: 59)
Dengan demikian orang mukmin dapat mentaati ulul amri, yang memenuhi syarat sebagai berikut
  1. Ulul amri tersebut mentaati Allah dan Rasul-Nya. Pada ayat tersebut yang dimaksud ulul amri adalah ulul amri “mukmin” dari golongan kamu, artinya dri orang yang beriman yang mentaati Allah dan Rasul-Nya
  2. Perintah dari ulul amri adalah perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya dan bukan untuk kemaksiatan
Apabila ulul amri tersebut memerintahkan kepada yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, seperti kefasikan, kemunkaran dan maksiat, maka harus ditolak karena orang mukmin tidak dibenarkan mentaati makhluk yang maksiat kepada Allah. Mengenai firman Allah: “Wa in tanaza ‘tum fi syai ‘in farudduhu ilaihi war Rasuli”, mujahid dan para ulama salaf berpendapat bahwa yang dimaksud ialah kembali kepada ketentuan yang ada dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Segala hukum yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan Sunnah dan yang diakuinya maka itulah yang benar.

[1] Haidir Bagir dalam AliSyari’ati, Ummah dan Imamah. Halaman  16-17
[2] Ushul Kafi, Jilid I hal 58 kitab Fadhlu Al-Ilm
[3]  Mustadrak Al-Hakim, Juz 3, Hal. 136.
[4]  Tarikhul Khulafa, hal. 114
[5] Andi Anas, konsep wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini. 2006 hal 29
[6] Murthada Muthahhari, tema-tema pokok Nahj Al-Balaghah, 2002 hal 106-107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar